Layang-layang Buatan Kakak

"Kak, kerja?"
"Kerja."
"Masuk siang?"
"Bukan. Malam."
"Nitip anterin deva yah? Aku lagi ada perlu."
Aku diam beberapa saat.
"Gimana kak? Bisa kan?"
"Jam berapa lesnya?"
"Jam setengah tiga. Bisa kan?"
"Insya Allah."
Ku tutup handphonku, kembali aku melanjutkan kesibukkan ketak-ketik komputer jadul. Kata demi kata, kalimat demi kalimat kususun membentuk sebuah cerita fiktif pendek. Terlalu sering kuedit, kuhapus kata yang dirasa kurang pas. Tanpa terasa waktu pun berjalan begitu cepat. Dan jam menunjukkan pukul 2.30.

"Deva les apa?"tanyaku dalam perjalanan.
"Les baca Qur'an."

Aku mengangguk. Terbesit dalam benakku, usianya yang baru menginjak lima tahun sudah diajarkan membaca Al Qur'an. Pendidikan dini yang patut ditiru. Hanya saja kenapa ikut les privat. Bukankah di masjid setiap bada maghrib diajarkan membaca Al Qur'an.

Aku menghela nafas.

"Mamanya pergi ke mana Dev?"
"Nggak tahu."
"Nggak tahu? Nggak bilang ke Deva?"
"Nggak."
Laju motor yang sedang. Dan jalanan perumahan yang tampak sepi di terik matahari siang agak sore memudahkan aku cepat sampai ke tempat les. Tepat di depan pintu pagar rumah les privat. Banyak juga anak-anak seusianya mengikuti les baca Qur'an. Raut muka ceria terpancar menyambut Deva memasuki ruang les.

Aku memandangi keceriaan mereka. Bermain, saling kejar mengejar, tertawa, dan bahkan ada yang menangis. Keceriaan yang tidak kudapat saat seusia mereka. Terkungkung penyakit malaria yang cukup lama sembuhnya. Sembilan bulan meradang sakit malaria. Empat bulan mengembalikan kondisi badan normal. Sayang muntaber menghantam tubuh yang belum pulih.

"Dede cepat sembuh yah. Ntar kita main layang-layang. Nih lihat layang-layang Dede udah jadi. Baguskan?"
Aku perlahan menoleh dalam pembaringan. Samar-samar kulihat kakakku menunjukkan layang-layang. tubuh tak bertenaga berusaha meraih dan meraba layang-layang itu.

"Bagus kan?"
Senyum dipaksakan, aku mengangguk pelan. Kembali aku memejamkan mata. Berusaha tidur melawan rasa sakit.

"Bu, kenapa dede sakit terus? Kenapa nggak kayak aku? Bu, kapan adikku sembuh?"
Aku terhanyut dalam belaian ibu. Di kedua pipi ada sentuhan lembut.
"Jawab ibu! kenapa? Uh, Padahal tiap malam aku selalu berdoa pada Tuhan. Aku ingin Dede sembuh. Aku ingin dede gembira, bisa bermain, mengejar layang-layang putus. Tapi.. Uh, Tuhan tidak adil. Padahal aku udah buat layang-layang buat dede. Aku ingin bermain layang-layang bersama dede. Ah, Tuhan memang tidak adil"
"Sayang, Tuhan itu maha adil."
"Ibu bohong!"

Suara keras terdengar membuat aku tersentak dalam tidur.

"Buktinya Dede nggak sembuh-sembuh. Itu artinya tuhan tidak adil Bu."
"Sayang, jangan berkata begitu. Dosa. Tuhan maha tahu apa yang terbaik untuk kita dan adikmu. Dan kita harus ikhlas menerima kehendakNya. Yah, kadang kala sulit untuk dipahami atas apa yang sedang terjadi. Tapi pasti dibalik sakitnya adikmu ada hikmahnya."
"Ah ibu. Hikmah apa? Hikmah membuat adik merasakan sakit. Hikmah supaya adikku tidak bahagia. Gitu? Nggak mau. aku ingin dede bahagia. Aku ingin melihat dede tertawa. Aku nggak mau hikmah. Nggak mau yang lainnya."
"Iya.. Pasti dede sembuh."
"Selalu saja bilang pasti! Bentar lagi! Nyatanya?"
"Ya udah kali ini ibu janji. Tuh lihat teman-teman kamu udah nunggu. Sana temui mereka!"
"Nggak! Aku mau nunggu dede."
"Sayang.."
"Nggak bu.."
"Ibu ngerti.."
"Pokoknya aku di sini saja."
"Kak.."
Aku tersentak dari lamunan. Masa lalu yang terputar di pelupuk mata tiba-tiba sirna begitu saja. Ada rasa rindu. Ada rasa ingin kembali ke masa lalu. Masa kanak-kanak yang menuntut meminta kebahagiaan yang tidak aku dapat. Sayang masa lalu hanyalah sebuah kenangan yang tidak akan bisa kembali.

Tepat di sisi kiri motor ibu Deva berdiri memberikan senyum.

"Kok ngelamun sih. Udah di dalam Devanya?"
Aku tertunduk tersipu malu. Garuk-garuk kepala untuk beberapa menghindari rasa malu. Malu oleh kecantikan dan senyum yang dia berikan,
"I..iya udah."
"Kok masih di sini? Oiya lupa. Nih uang untuk ongkos antar Devanya."

Ibu muda itu menyodorkan lembaran uang kertas. Kontan aku menolaknya.

"Nggak papa. Terima saja."

Aku masih menolak.

"Lho kenapa? Kurang?"
"Ufh." gelagapan mendengar ucapannya, "Bukan. Maaf.. Anu. Maksud saya. Nggak usah. Saya ikhlas mengantar dia. Betul. Lagian kita bertetangga. Sepertinya kurang pas kalo saya minta bayaran."
"Aku ngerti. Dan aku pun ikhlas memberikan uang ini. Jadi terima saja."
"Tapi?!"

Ia tetap memaksa. Ragu dan terpaksa aku menerima uang itu. Sekejap sentuhan lembut kulit telapak tangannya aku genggam dan membiarkan dia berontak lembut melepas genggamanku. Dia masih tersenyum. Dia masih ramah dan tidak terpancar rasa kesal.

"Udah ya kak. Aku masuk dulu." kata dia meninggalkanku.

Aku mengangguk dan memandangi dia pergi hingga ditelan dinding ruang les.

Bersambuuuuung....!!!

Ditulis Oleh: KanG piE

Info yang kamu baca adalah Layang-layang Buatan Kakak dengan harapan bermanfaat untuk kamu. Silahkan kamu copas dan menyebarluaskan seluruh isi artikel ini dengan catatan menyebutkan sebagai asal sumber Info ini.

Sahabat KLIK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...