Berfikir Kritis

Hrrr...okk..hrrr.. okk.. Kurang lebih seperti itu suara dengkur Goler. Padahal hari sudah siang, ia masih tertidur pulas. Dan Nyi Eneng istri Goler entah kenapa membiarkan Ia terlelap dibuai mimpi, sibuk dengan urusan dapur. Hari Minggu yang tidak biasanya. Hari untuk bergotong-royong. Rutinitas warga untuk menjaga kelestarian kampung sekaligus mempererat tali silaturahmi.

Kampung Kali Becek. Kampung yang jauh dari kebisingan dan kesumpekan kota. Kampung yang masih memegang erat kekompakan, kebersamaan,dan keharmonisan antar warga. Kelestarian lingkungan, kebersihan desa, dan masih terlihat alami dengan banyaknya pepohonan rindang berdiri kokoh berjejer di setiap ruas.

"Pantas saja tidak ikut gotong royong. Rupanya lagi enak-enakan tidur. Banguun..! Banguuun!!"Mang Emi menggoyang-goyangkan tubuh Goler persis di sisi ranjang.

Mang Emi adalah paman goler yang juga ketua RW Kampung Kali Becek. Dia berwatak tegas, egois, dan sudah banyak warganya dibikin kuping panas kalaupun hanya kesalahan kecil. Terlebih untuk urusan kemasyarakatan seperti gotong royong, jangan coba-coba untuk tidak hadir jika tidak ingin kena labrak.

Goler masih tidur.

Mang Emi geleng-geleng kepala, "Banguun! Banguun!"

Masih terbuai mimpi, ia menghela nafas. Sesaat ia memandangi Goler dengan suara dengkurnya. Yang saya tahu dia paling duluan datang ke masjid. Paling lantang jika berbicara masalah agama. Paling dermawan kalaupun dia sendiri serba pas-pasan. Dan paling bodoh jika disuruh baca. Tapi kenapa sekarang bangunnya siang. Apa karena malas gotong-royong? Ah, tidak mungkin? Dia selalu tampil. Minggu kemarin saja dia sudah apruk-aprukan bersihkan halaman mesjid. Padahal pagi masih gelap. Sampai-sampai Imam masjid keluar setelah selesai wirid jadi heran melihat Goler lebay.

"Kenapa gotong royongnya paling duluan?"

"Tuh.. " goler menunjuk perempuan berpakaian seksi serba kelihatan.

"Astaghfirullah, dasar kamu mata keranjang." kata ustadz sambil tangan kirinya menutup mata. "Saya tidak mata keranjang pa ustadz. Sumpah!" Goler meyakinkan, sambil tangannya diangkat dan jemarinya membentuk victory.

"Kamu jangan bohong ya?"

"Tidak, saya tidak bohong."

"Trus buat apa kamu nunjuk perempuan itu?"

"Jam sekarang biasanya dia minta tolong saya. Lumayan atuh buat dapur."

"Minta tolong?!" ustadz jadi penasaran, "Pagi masih gelap gini minta tolong?! Tolong apaan?"

"Biasalah Pa. Namanya hari libur. Orang tuh kalau hari-harinya dipakai kerja terus, badan pastinya terasa pegal-pegal. Nah, biar badan tidak kaku dan jadi fit lagi, ya dipijit."

"Pijit?! Jadi selama ini kamu pijitin dia. Astaghfirullah Goler.. nyebut! tobatlah! Itu dosa."

"Dosa?! Masa pijit orang dosa?"

"Ari kamu jangan bego ya. Dia itu bukan muhrim kamu. Jangankan sampai pijit. Melihat tubuhnya saja sudah dosa."

"Ih, ari ustadz tuh salah paham saja."

"Salah paham gimana? Sudah jelas itu perempuan tong-tong. Janda lagi."

"Ting-ting barangkali."

"Ting-ting kalau belum kesentuh." "Hooh.. Lagian saya tidak mijit dia pak ustadz, tapi bapaknya."

Dan..

"Neeeng..!!"Teriak Mang Emi.

Beberapa menit sudah berlalu, yang dipanggil belum datang.

"Neeng!!" lebih keras dari sebelumnya.

Masih belum juga datang, ia pun menuju dapur. Dapur kosong melompong, Ditelusurinya setiap kamar. Dari mulai kamar mandi, kamar tidur, kamar yang belum jadi, kamar tetangganya, sampai kandang ayam, yang dicari masih belum ketemu. Ia melirik jam tangan. Hari bertambah siang. Di ambilnya seember air.

"Burrrr...jburrr"

"Huaa.. mbrr..mbrr.." Goler keblingsatan basah kuyup.

Antara sadar dan tidak ia berlari terbirit-birit ke dapur. panci, piring, dan perabotan dapur lainnya ia bereskan. Dengan pandangan aneh, Mang Emi mengikutinya dari belakang.

"Mamang.. Kenapa diam saja di situ? Buruan bantu saya beresin parabotan."

Mang Emi memicingkan mata heran.

"Aduh si mamang ini berlagak bego. Tidak tahu kalau saya basah kuyup gini gara-gara menghindar dari Tsunami."

"Tsunami?!"kata Abah heran. Tidak lama suara tawanya pun lepas.

Goler terdiam, mendongak, matanya disipitkan." Ada yang aneh. Kenapa tertawa? bukannya panik dan ikut bantuin beberes. Atau.." batin Goler. Ia berusaha sadar di antara pengaruh kantuknya. Kedua tangannya memukul-mukul pelan pipinya.

"Memangnya kampung kita yang letaknya di pegunungan ini, ditambah ratusan kilo jaraknya dari pantai bisa kena tsunami Goler? hihihi.. Mustahil atuh." Diam sejenak sambil mencari tempat duduk.

"Makanya. Jadi orang jangan suka bangun siang. Nanti, rezekinya diambil Si Tsunami. hahhaa." Goler diam seribu bahasa.

"Yang abah tahu, kamu tuh paling getol sama dengerin ceramah. Tidak pernah ketinggalan dan tidak mau diganggu. Tentunya sudah tahu banyak tentang agama. Ee.. malah bangun siang. Apa tidak malu sama tetangga."

Merasa tersindir Goler angkat bicara, "Kenapa harus malu mamang?"

"Jadi kamu tidak merasa malu?"

"Tentu saja tidak. Kan saya tidak bersalah."

"Jadi bangun siang tuh, kamu tidak merasa bersalah? Wah, kalau begitu percuma punya ilmu agama banyak. Tapi tidak dipake."

"Ya, dipake lah mang. Masa ilmu tidak dipake. Dosa, nantinya."

"Nah, tuh tahu. Kenapa tidak merasa bersalah?"

"Yang salah siapa mang?" Goler balik bertanya.

"Aduh, Dasar gelo. Kamu bangunnya siang tuh tidak salah."

"Nah ini mamang yang keblinger. Saya tuh tidak bangun siang Mamang. Mamang saja yang tidak tahu. Tahu juga bisanya sok tahu, maunya menang sendiri. Tidak mau dengar penjelasan orang lain."

"Ari kamu berani ya, ceramahin Mamang kamu sendiri ya." kata Mamang terpancing amarahnya.

"Justru karena mamang sendiri saya berani." suara Goler lantang. " Dan itu gunanya agama, saling mengingatkan. Qur'an tuh menyebutkan. Dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. Jadi kalau ada yang salah harus diingatkan supaya tidak tambah salah."

"Oo.. Jadi Mamang tuh sudah bersalah. Makanya harus dinasehati kamu dulu, gitu?"

"Bukan gitu, dan saya tidak mungkin menasehati Mamang sendiri. Orang terpandang di kampung ini." Goler diam sejenak, "Saya nih cuma mengingatkan saja. Melihat orang jangan cuma dari sudut pandang perbuatannya saja. Tidak adil, bisa jadi fitnah. Dan tahu tidak Mang, kalau fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Dosa.. Coba kalau ditanyakan dulu. Kenapa orang tersebut berbuat, supaya jelas persoalannya. Kan bisa berimbang. Tidak main hakim sendiri. Melihat orang ngambil sendal, langsung dituduh maling. Padahal siapa tahu sendal yang diambil punya istrinya, atau mertuanya karena disuruh. Trus, ada orang di dalam rumah yang teriak-teriak dan memukul perempuan, langsung dituduh lagi menyiksa perempuan itu. Padahal siapa tahu lagi latihan drama buat acara agustusan."

Mam Emi mengangguk-anggukkan kepala. Ia memahami maksud perkataan Goler. Dalam hatinya merasa kagum dan bangga memiliki keponakan seperti Goler. Di balik penampilannya yang acak-acakan, tapi memiliki pemikiran yang cerdas. Dia tersadar. Namun rasa gengsi dan tidak mau disalahkan sudah menjadi sifatnya. Malu kalau mengalah. Apalagi dengan keponakannya sendiri. Harga dirinya bisa turun sembilan derajat.

"Oo.. Maksud kamu bangun siang itu tidak salah? Bagus? hebaat?" kata Mang Emi menyembunyikan gengsinya.

"Aduh, Si Mamang ini. Lagian saya tuh tidak bangun siang."

"Lha trus, tadi ngapain?"

"Tadi tuh tidur siang, Mamang."

"Tidur siang?!" Mang Emi memandang heran.

"Iya."

"Apa bedanya tidur siang sama bangun siang?"

"Ya beda atuh mang. Kalau bangun siang itu dari semalam sampai siang belum bangun-bangun. Nah, kalau tidur siang Dari semalam sampai siang itu sudah bangun, cuma tidur lagi."

"Nah loh?! Trus kamu bangunnya jam berapa, sampai tidur lagi?"

"Jam dua pagi."

"Ha.. Dasar gelo kamu teh??!!!"

Mang Emi mengambil sapu akan memukul Goler. Beruntung Goler sudah kabur duluan.

Ditulis Oleh: KanG piE

Info yang kamu baca adalah Berfikir Kritis dengan harapan bermanfaat untuk kamu. Silahkan kamu copas dan menyebarluaskan seluruh isi artikel ini dengan catatan menyebutkan sebagai asal sumber Info ini.

Sahabat KLIK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...