Tiga Singkong

Diobok-obok airnya diobok-obok.
Ada ikannya kecil-kecil pada mabok.
Diambil ikannya digandul-gandul...
ku dapat duit buat dapur bisa ngebul... cihuuuy...

Saduran lagu Joshua dinyanyikan Kang Goler dengan muka sumringah sedang membawa sekeranjang ikan lele hasil mancing di kali menuju pasar. Berkali-kali ia menghentikan langkah untuk menggoyang-goyangkan pantat mengikuti alunan lagu meramaikan suasana hatinya yang ceria. Terkadang pula disertai siulan berirama cempreng terdengar meluncur ke udara diterik mentari siang. Desir angin meniupkan pepohonan rindang perkampungan.

Di benaknya tersirat keinginan yang akan dia dapatkan dari hasil jual tangkapan ikannya. Cukup banyak hasil tangkapan ikan kali ini. Lauknya tempe, pake sambel tomat, lalapnya daun kemangi, ditambah kerupuk kriuuk..kriuuk.. wahh.. pokoknya siiip lah.

Di pasar tumpah ruah. Mentari sudah condong 130 derajat suasana masih terlihat ramai. Kang Goler yang sudah hafal jalan ke tempat di mana penjual ikan langganannya berjualan langsung meluncur berdesakan di antara keramaian pasar.

"Lur.. Kali ini ikannya banyak. Berapa duit?" kata Kang Goler sesampainya.

Yang dipanggil Lur diam sejenak. Matanya mengamati dua keranjng ikan.

"20.000 perak Kang." tawar Lur mantap.

Kang Goler mendelik heran, "Wuiih..?! Yang bener saja Lur. Ikan segini banyak dibandrol 20.000 perak. 50.000 saja Lur. Soalnya jenis ikan ini sangat langka dan cepet lakunya."

"Ah.. Kau ini. Saya nih sudah tahu semua jenis ikan. Apalagi macam ikan lele cap kali ini."

"Eeit.. tunggu dulu lur." potong Kang Goler, "Ikan ini jelas beda sama lele cap kali, Lur."

"Ah kau ini. Apa bedanya?" Tanya Lur heran.

"Bedanya kalo lele cap kali mancingnya harus nunggu lama."

"Nah loh.. Trus kalo ikan ini?"

"Harus sabar." jawab Kang Goler sekenanya.

"Sialan.. itu mah sama-sama nunggu umpan dimakan ikan sempruuuul!! sudah!! 40.000! Titik, gak pake nego!"

Kang Goler nyengir kuda. Terpaksa ia menerima uang tersebut.

Iwak peyek.. Nasi jagung..
Biar jelek.. Bisa nabung..
Nasi aking.. Iwak tongkol..
kamu kencing.. Au jengkol..

Dalam perjalanan pulang Kembali Kang Goler bernyanyi diselingi suara siulan merdu. Dengan gaya khas bikin geleng kepala mata yang melihat ia menyusuri jalan setapak. Kampung Kali Becek dengan penduduk masih sedikit dan penghasilan yang kurang beruntung membuat Kang Goler mengelus dada.

Ah.. Biar miskin kalo hidup dibawa senang hati rasanya tentram. Dari pada kaya hidup dipusingin sama banyak hutang, anak badung tidak bisa diatur, istri mintanya yang aneh-aneh, ditambah lagi hartanya takut ada yang nyuri.. hrrr.. streees... pikir Kang Goler sambil melihat keadaan rumah penduduk yang amat sangat sederhana sekali. Persis sama dengan keadaan rumahnya.

Samar-samar suara tangis terdengar. Kang Goler menghentikan langkahnya. Toleh kanan kiri. Di bawah pohon beringin tampak seorang gadis kecil duduk menundukkan kepala dengan kedua tangannya melingkar erat perutnya.

Merasa iba dan sudah mengenal betul gadis itu. Ia mendekatinya.

"Nong. Kenapa kamu menangis?" tanya Kang Goler .

Si Gadis mendongak.

"Ada apa?" kembali Kang Goler bertanya.

"Lapar." jawabnya lirih.

"Kenapa Nong lapar?"

"Saya belum makan mang.."

"Nah.. tuh tau jawabannya. Sana makan. Bukannya nangis."

Gadis cilik melongo. Diam beberapa saat, "Huaaa..ha.."

"Ai.. Diaaam!!"

Kang Goler tersentak kaget. Ia mengalihkan pandangan. Seorang ibu muda mendekatinya. "Maafin anak saya kang."

Ibu muda itu menarik paksa anaknya.

"Tunggu sebentar Nyi!" Kang Goler menenangkan ibu muda itu, "Anak ibu lapar."

"Saya tahu Kang."

"Kalau tahu, kenapa tidak dikasih makan?"

"Saya lagi nunggu suami pulang."

"Nah loh, Kan bisa nyusul makannya."

"Ng.. Di rumah tidak ada makanan yang bisa di makan, kang."

Kang Goler tersentak kaget mendengar jawaban ibu Ai. Jawaban ini mengingatkan istri dan anaknya di rumah. Persis Ai dan ibunya menahan lapar menunggu suami membawa makanan. Tanpa pikir panjang Kang Goler membagi dua barang bawaanya untuk diberikan kepada mereka. Ragu-ragu Ibu Ai menerima pemberiannya.

"Tidak apa. Ambillah." Kata Kang Goler mantap.

Dengan nafas lega Kang Goler melanjutkan perjalanan pulang. Dari kejauhan tampak rumah di mana ia tinggal sudah menunggu sang istri di depan pintu menyambut kedatangan suami tercinta. Sebagai mana layaknya sepasang suami istri sekalipun kehidupan mereka serba tidak berkecukupan. Mereka menampakkan keceriaan, Keharmonisan, dan menerima apa yang ia dapat.

Hidup jauh dari kebisingan kota. Keruwetan tetek bengek persoalan hidup yang ditampakan strees. Kehidupan Kampung Kali Becek yang sunyi tapi damai. Yah.. jarak antara rumah satu penduduk dengan rumah berjauhan tapi tali silaturahmi mereka terjaga. Kegiatan gotong royong, bergiliran ronda, musyawarah mencari solusi dan kegiatan lainnya masih aktif digalakan.

Di meja makan telah tersaji menu makanan. Aroma kelezatan menebar menusuk rongga hidung menambah selera. "Na.. Aji. Biasanya kita makan apa adanya. Sekarang waktunya makan enak."

"Iya Bah. Ada tempe, sambel, wah.. pake lalap kemangi lagi.. hmmmm... nikmat deh"

"Makaaan.."

"Eiiit.." Potong Eneng istri Kang Goler mencegah. "Sebelum makan berdoa dulu."

Di sela pembacaan doa suara pintu diketuk terdengar jelas. Mereka terpaku, menoleh ke arah suara. Eneng tersenyum lantas meninggalkan mereka yang menjadi patung hidup. Tidak lama kemudian ia kembali ditemani enam anak berpakaian lusuh. Tanpa di beri komando keenam anak ini memakan habis makanan yang tersedia di meja makan.

Kang Goler melirik istrinya heran. Ema hanya mengangkat bahu, sementara Aji anak semata wayangnya garuk kepala. Makanan habis tanpa sisa.

"Ma.. Mang Goler.. Trima kasih. kami sudah kenyang" jawab yang paling tua mewakilinya.

Semula mereka akan merasakan makan lezat. Sekarang hanya tumpukan piring kotor. Terdiam menatap meja makan penuh kotoran perabot. Wesss.. tiba-tiba saja aji berlari kecil keluar rumah. Tidak nunggu lama ia sudah kembali dengan tiga buah singkong.

"Pas aji pulang sekolah. Aji melihat kakek lagi mungutin singkong yang terserak. Aji kira habis terjatuh dari sepedanyan. Trus Aji bantu. Eee.. Aji di kasih 3 singkong." kata aji menjelaskan.

Mereka pun kembali ceria. Sekalipun tidak makan lezat yang namanya perut lapar. Ubi rebus pun jadi terasa lezat. heee...hee...

Demikian sekelumit cerita fiktif sekiranya ada kesamaan tokoh atau tempat itu hanya kebetulan saja. Yang aku buat adalah mencoba memberikan suguhan ringan yang bisa memotivasi diri menjalani hidup apa adanya dengan penuh ceria yang tidak usah dibuat pusing.

Kata ustadz Setiap kejadian hidup pasti ada hikmah di balik kejadian itu. Perjalanan hidup selalu berganti peran. Entah senang, sedih, tawa, tangis, lapar, kenyang, susah, mudah semua episode hidup pasti menghampiri kehidupan kita. Tinggal kitanya saja mensikapi hidup. Bukan memilik harta berlimpah yang membuat hidup bahagia karena bisa jadi harta menjadi bumerang kehidupan. Tapi memiliki istri dan anak yang menerima keadaan hidup sekalipun teramat sulit dan pedih. Gituu.. kata ustadz mah.. bukan kata saya.. si penulis cerita ini.

okeh.. eiiit.. jangan lupa komentar kamu.

Ditulis Oleh: KanG piE

Info yang kamu baca adalah Tiga Singkong dengan harapan bermanfaat untuk kamu. Silahkan kamu copas dan menyebarluaskan seluruh isi artikel ini dengan catatan menyebutkan sebagai asal sumber Info ini.

Sahabat KLIK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...